Menurut Ibnu Qayyim ada enam tingkatan
cinta dalam Islam, yaitu :
1. Peringkat pertama adalah Tatayyum
Ini merupakan tingkatan cinta yang
paling tinggi dan merupakan hak ALLAH SWT. ALLAH SWT.
berfirman :
“Dan diantara manusia
ada orang-orang yang menyembah tandingan- tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat
siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya,
dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”
(QS.
Al-Baqarah : 65)
ALLAH-lah yang paling utama tiada
tandingan tak ada bandingan. Posisinya tidak boleh digeser menjadi nomer
dua atau bahkan tiga. Cinta hanya kepada-Nya harus menjadi puncak dari
segala cinta yang dimiliki
2. Peringkat kedua adalah ‘Isyk
Cinta ini yang merupakan haknya Rasulullah
SAW. Cinta yang melahirkan sikap hormat, patuh, ingin selalu
membelanya, ingin mengikutinya, mencontohnya, dan lain-lain. Namun,
bukan untuk menghambakan diri kepadanya. Kita mencintai Rasulullah
dengan segenap konsekuensinya. Kita akan dengan bangga menjalankan
sunnah-sunnahnya dan mengikuti petunjuknya dalam mengamalkan agama ini.
Kita juga akan mencintai khidupannya yang luhur dan penuh amal shalih.
Kita rindu berjumpa dengannya karena kemuliaan yanga ada pada diri
beliau. Cinta kita kepada Rasulullah mendorong kita untuk membela agama
ini dengan kekuatan yang kita miliki. Demikian juga membela sunnahnya
bila sunnahnya diinjak-injak oleh orang lain. ALLAH SWT. berfirman :
“Katakanlah: ‘Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
(QS. Ali-Imran :
31)
3. Peringkat ketiga adalah Syauq
Yakni cinta antara mukmin dengan
mukmin lainnya. Antara suami isteri, antara orang tua dan anak, yang
membuahkan rasa mawaddah wa rahmah. Seorang suami harus
mencintai isterinya dengan sepenuh hati. Demikian pula si isteri harus
memberi cintanya kepada suaminya. Cinta yang tumbuh pada diri mereka
akan menambah ketentraman hati dan ketenangan jiwa. Hidup akan lengkap,
karena saling mengerti dan memahami. Seorang ayah yang begitu perhatian
kepada anaknya, mencurahkan cintanya kepada buah hatinya. Dia menyayangi
nya dan rela bekerja siang dan malam untuk anak-anaknya. Selain karena
ibadah kepada-Nya, dia melakukannya juga karena cinta.
4. Peringkat ke empat adalah Shababah
Yaitu cinta sesama muslim yang
melahirkan ukhuwah Islamiyah. Cinta ini menuntut sebuah kesabaran untuk
menerima perbedaan dan melihatnya sebagai sebuah hikmah yang berharga.
Seperti kita ketahui saat ini sedikit perbedaan saja seringkali
menimbulkan perpecahan. Berbeda takbiratul ihram, berbeda gerakan
shalat, berbeda hari Idul Fitri atau Idul Adha kadang tidak disikapi
secara dewasa. Sehingga masalah pun muncul dan membuat jurang pemisah
yang teramat dalam antar pengikutnya. Belum lagi kalau kita lihat betapa
banyaknya kelompok harakah Islamiyah yang bermunculan. BIla cinta ini
ada, insya Allah segala perbedaan bisa disinergiskan. Tidak semua
perbedaan harus dipaksa sama, tapi kadang hanya membutuhkan sedikit
pengertian saja. Cinta ini harus dimunculkan sebagai bentuk upaya untuk
menciptakan kenyamanan hubungan dalam tubuh umat Islam.
5. Peringkat kelima ‘Ithf (simpati)
Cinta ini ditujukan kepada sesama
manusia. Rasa simpati ini melahirkan kecenderungan untuk
menyelamatkan manusia, termasuk pula di dalamnya adalah berdakwah. Rasa
ini seringkali muncul bila sisi kemanusian kita tersentuh. Di saat
melhiat seorang anak kecil di sebuah gubuk dengan wajah penuh
penderitaan, atau saat melihat korban musibah bencana alam berjatuhan,
tentu saja hal ini mengetuk kepedulian kita yang terdalam. Sisi
kemanusiaan kita menjadi tersentuh dan ingin menitikkan air mata. Hati
kita tidak tega melihat sebuah penderitaan yang tak kunjung berakhir.
Inilah bentuk simpati yang muncul dari hati yang paling dalam.
6. Peringkat keenam adalah cinta yang
paling rendah dan sederhana, yaitu cinta atau keinginan selain kepada
manusia : harta benda.
Namun, seringkali keinginan ini sebatas intifa’
(pendayagunaan/pemanfaatan). Cinta jenis ini pula yang sering
menggelincirkan manusia. Karena sifat harta memang selalu melenakan.
Namun, bila kita cerdas, banyaknya harta benda seharusnya tidak
menjadikan kita terlena. Sebaliknya, ia hanya menjadi sarana untuk
meraih cinta yang sebenarnya yaitu cinta kepada ALLAH SWT.
Comments
Post a Comment