Skip to main content

HAKIKAT CINTA DALAM ISLAM

Dalam mendefinisikan cinta, banyak dari para pemikir, mengkiaskan makna cinta dalam kata-katanya, Al-Ashma’i  berkata, saya pernah bertanya kepada seorang arab badui tentang cinta. Dia menjawab, “cinta itu tersembunyi di dalam batu. Apabila dinyalakan, ia akan tampak. Namun apabila dibiarkan, ia pun sembunyi di dalamnya”. menurut ibnu Al-Qoyyim, orang-orang berakal sepakat mencela orang yang mencintai sesuatu, yang membuat dirinya celaka karena kecintaanya itu. Cinta adalah fitrah yang dianugerahkan Allah kepada para Mahklukya.
Lantas bagaimana islam menyikapi emosi cinta yang selalu membawa kebahagiaan, namun sering juga membawa malapetaka bagi pecinta maupun yang dicintainya, adakah cinta  yang sejati, dan bagaimana pula pengaruhnya terhadap manusia. mari saudariku, pahami hakekat cinta

1. Cinta kepada sesama 
Manusia adalah makhluk sosial, mustahil rasanya jika manusia mampu untuk hidup  sendiri, manusia terlahir di dunia dengan segala kebatasan pada kemampuannya. Manusia harus berinteraksi dengan manusia lainnya dalam bentuk sebuah masyarakat. Dalam hal ini yaitu dengan Cinta kepada sesama, merupakan hal yang mendasar dalam mengatur interaksi seseorang dengan yang lainnya.
 
Di antara langkah syaitan dalam menggoda dan menjerumuskan manusia adalah dengan memutuskan tali hubungan antara sesama umat Islam. Ironinya, banyak umat Islam terpedaya mengikuti langkah langkah syaitan itu. Mereka menghindar dan tidak menyapa saudaranya sesama muslim tanpa sebab yang dibenarkan syara’. Misalnya karena percekcokan masalah harta atau karena situasi buruk lainnya.  Terkadang, putusnya hubungan tersebut langsung terus hingga setahun. Bahkan ada yang sumpah untuk tidak mengajaknya bicara selama-lamanya, atau bernadzar untuk tidak menginjak rumahnya. Jika secara tidak sengaja berpapasan di jalan ia segera membuang muka. Jika bertemu di suatu majlis ia hanya menyalami yang sebelum dan sesudahnya dan sengaja melewatinya. Inilah salah satu sebab  kelemahan dalam masyarakat Islam. Karena itu, hukum syariat dalam masalah tersebut amat tegas dan ancamanya pun sangat keras.
Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata, Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tidak halal seorang muslim memutuskan hubungan dengan saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga hari, barang siapa memutuskan lebih dari tiga hari dan meninggal maka ia masuk neraka”  (HR: Abu Dawud, 5/215, Shahihul Jami’: 7635)
Abu khirasy Al Aslami Radhiallahu’anhu berkata, Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Barangsiapa memutus hubungan dengan saudaranya selama setahun maka ia seperti mengalirkan darahnya (membunuhnya) “ (HR: Al Bukhari Dalam Adbul Mufrad no : 406, dalam Shahihul Jami’: 6557)
Untuk membuktikan betapa buruknya memutuskan hubungan antara sesama muslim cukuplah dengan mengetahui bahwa Alloh menolak memberikan ampunan kepada mereka. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “semua amal manusia diperlihatkan (kepada Allah) pada setiap Jum’at (setiap pekan) dua kali; hari senin dan hari kamis. Maka setiap hamba yang beriman diampuni (dosanya) kecuali hamba yang di antara dirinya dengan saudaranya ada permusuhan. Difirmankan kepada malaikat :” tinggalkanlah atau tangguhkanlah (pengampunan untuk) dua orang ini sehingga keduanya kembali berdamai” (HR: Muslim: 4/1988)
Jika salah seorang dari keduanya bertaubat kepada Alloh, ia harus bersilaturrahim kepada kawannya dan memberinya salam. Jika ia telah melakukannya, tetapi sang kawan menolak maka ia telah lepas dari tanggungan dosa, adapun kawannya yang menolak damai, maka dosa tetap ada padanya.
Abu Ayyub Radhiallahu’anhu meriwayatkan, Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tidak halal bagi seorang laki-laki memutuskan hubungan saudaranya lebih dari tiga malam. Saling berpapasan tapi yang ini memalingkan muka dan yang itu (juga) membuang muka. Yang terbaik di antara keduanya yaitu yang memulai salam” (HR: Bukhari, Fathul Bari: 10/492)
Tetapi jika ada alasan yang dibenarkan, seperti karena ia meninggalkan shalat, atau terus menerus melakukan maksiat sedang pemutusan hubungan itu berguna bagi yang bersangkutan misalnya membuatnya kembali kepada kebenaran atau membuatnya merasa bersalah maka pemutusan hubungan itu hukumnya menjadi wajib. Tetapi jika tidak mengubah keadaan dan ia malah berpaling, membangkang, menjauh, menantang, dan menambah dosa maka ia tidak boleh memutuskan hubungan dengannya. Sebab perbuatan itu tidak membuahkan maslahat tetapi malah mendatangkan madharat. Dalam keadaan seperti ini, sikap yang benar adalah terus-menerus berbuat baik dengannya menasehati, dan mengingatkannya.
2. Cinta Kepada lawan Jenis
Cinta kepada lawan jenis, islam memandangnya sebagai fitrah, manusia dibekali rasa cinta kepada lawan jenis untuk memotivasi memperbanyak keturunan, tetapi islam juga memberi rambu-rambu atas cinta kepada lawan jenis ini, dengan solusinya adalah dengan membangun keluarga dengan jalan menikah.  Islam mengecam perzinaan, tetapi sangat menganjurkan untuk menikah bagi yang mampu secara fisik dan psikis, andaikata tidak atau belum mampu menikah, islam mengajurkan untuk berpuasa dan menahan diri dari segala hal yang membangkitkan syahwat
 
Islam yang sempurna telah mengatur hubungan dengan lawan jenis. Hubungan ini telah diatur dalam syariat suci yaitu pernikahan. Pernikahan yang benar dalam Islam juga bukanlah yang diawali dengan pacaran, tapi dengan mengenal karakter calon pasangan tanpa melanggar syariat. Melalui pernikahan inilah akan dirasakan percintaan yang hakiki dan berbeda dengan pacaran yang cintanya hanya cinta bualan.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1920. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani)
Kalau belum mampu menikah, tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, ”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”
Cinta sejati akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Agama islam mengakui adanya cinta terhadap lawan jenis sebagi iringan motivasi seksual, karena itu merupakan emosi fitrah manusia, selama sesuai dengan cara yang telah disyariatkan, yaitu menikah.
3. Cinta Kepada Allah dan Rasul
 Menurut utsman najati,  cinta kepada Allah merupakan bentuk tertinggi dari rasa cinta yang ada pada diri manusia. Jika kita mau melihat realita, banyak gangguan jiwa berawal dari rasa cinta yang tinggi kepada hal-hal yang bersifat materi, misalnya rasa cinta kepada kekasih (suami atau istri), cinta kepada harta, cinta kepada pekerjaan dan rasa cinta yang semisalnya. Yang mengakibatkan seseorang terus memuaskan rasa cintanya –yang pada hakikatnya tidak akan pernah terpuaskan—  dengan berlebihan. Pada akhirnya, hanya kekecewaan yang ia dapatkan karena cintanya itu bisa saja bertepuk sebel
Mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha mempelajari dan mengamalkannya dengan baik. Dan bukanlah mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dengan mengatasnamakan cinta kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau memuji dan mensifati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan, dengan menempatkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kedudukan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tempatkan beliau padanya.
Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang nasrani melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.
Inilah makna cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dan diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, para sahabat radhiallahu ‘anhum. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada seorangpun yang paling dicintai oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak berdiri (untuk menghormati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci perbuatan tersebut. Hadits lainnya yang mengungkapkan keutamaan cinta kepada Allah dan Rasu-Nya, adalah:
Rasulullah SAW bersabda, ”tiga golongan yan akan merasakan manisnya iman yaitu: golongan yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari apapun, golongan yang tidak mencintai orang lain melainkan hanya karena Allah, dan golongan yang tidak kembali kepada kekufuran sebagaimana ia tidak ingin dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Al Bukhari dan Muslim, At-Tirmidzi, serta An-Nasa’i, dari Anas)
Nabi SAW menjelaskan bahwa ada tiga hal yang apabila diamalkan oleh seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman. Manis disini menunjukkan arti nikmat, senang, suka terhadap iman. Apabila seseorang merasa nikmat terhadap sesuatu maka ia tidak akan rela apabila sesuatu itu lepas dan hilang dari dirinya, apalagi kenikmatan itu adalah kenikmatan iman, suatu anugerah terbesar yang seharusnya kita syukuri dan harus benar-benar dipertahankan sampai akhir hayat kita. Jika kita berhasil mempertahankan iman sampai ajal menjemput, maka demi Allah, surga telah menanti kita. 

Comments

Popular posts from this blog

Profesor ahli saraf (Neurosains) Masuk Islam Setelah Meneliti Keajaiban Sujud

R. FIDELMA O’Leary mendapatkan penghargaan Woman of Spirit tahun 2012. Ia adalah seorang Professor Biologi di Universitas St. Edward di Austin, Texas, AS. Wanita asli Texas yang berprofesi sebagai Professor Neurosains di Universitas Texas ini, telah menemukan kedamaian dalam islam. Dr Fidelma, yang juga sebagai seorang Dokter Neurologi di sebuat rumah sakit di AS, terpukau ketika melakukan kajian terhadap syaraf-syaraf di otak manusia. Satu hal yang membuat dia terpukau adalah ketika mengetahui bahwa terdapat beberapa urat syaraf manusia yang tidak dimasuki darah. Padahal setiap inci otak manusia memerlukan suplai darah agar bisa berfungsi secara normal. Setelah mengadakan penelitian dengan seksama dan memakan waktu yang lama, Dr Fidelma akhirnya mendapati kenyataan bahwa urat-urat syaraf di otak itu tidak dimasuki darah kecuali bila seseorang sedang shalat, yakni ketika posisi sujud! Ternyata urat syaraf itu memerlukan darah hanya beberapa saat saja, yakni ketika s...

Sholat Rasulullah

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻛَﻤَﺎ ﺭَﺃَﻳﺘُﻤُﻨِﻲ ﺃُﺻَﻠِّﻲ “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533) Ini adalah perintah beliau kepada umatnya agar meneladani tata cara shalat sesuai dengan apa yang beliau tuntunkan. Lalu bagaimana kaifiyah shalat yang beliau ajarkan? Berikut adalah tuntunan shalat sesuai sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk anda sekalian. 1. RAKAAT PERTAMA • Berwudhu terlebih dahulu. [1] • Berniat di dalam hati dan tidak dilafazhkan. [2] • Menghadap kiblat, yaitu Ka'bah. [3] Perhatian: Menghadap Ka'bah bukan berarti menyembah Ka'bah, tetapi tetap menyembah Allah 'Azza wa Jalla. Kita menghadap Ka'bah karena kita diperintahkan Allah untuk itu dan kita pun tunduk pada perintah-Nya. • Menempatkan sutrah di hadapanmu (sutrah yaitu pembatas, seperti: tembok, tiang dan lain-lain). Tinggi sutrah yaitu se...

Ali bin Abi Thalib r.a Biografi

Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang terkemuka di kalangan umat Islam sekaligus sepupu Nabi Muhammad yang menjadi khalifah (khulafaur rosyidin) setelah kekhalifhan Utsman bin Affan. Ali adalah sosok yang cerdas dan tampan. Ali lahir pada tahun kedua puluh sebelum kenabian, tumbuh berkembang dalam didikan rumah tangga kenabian, dialah orang pertama yang masuk Islam dari golongan anak kecil. Sejak kecil Ali telah berada dalam didikan Rasulullah SAW, sebagaimana dikatakannya sendiri: "Nabi membesarkan aku dengan suapannya sendiri. Aku menyertai beliau kemanapun beliau pergi, seperti anak unta yang mengikuti induknya. Tiap hari aku dapatkan suatu hal baru dari karakternya yang mulia dan aku menerima serta mengikutinya sebagai suatu perintah". Kelahiran Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi a...