Makna haid
makna haid secara etimologi (bahasa) maknanya adalah
aliran sesuatu. Adapun secara etomologi (istilah) syar’i maknanya adalah aliran
darah yang terjadi pada wanita secara alami tanpa suatu sebab dan terjadi pada
waktu yang diketahui.
Haid merupaka darah yang alami, walaupun haid ini
sesuatu yang alami, akan terjadi berbeda-beda keadaanya sesuai dengan kondisi
masing – masing wanita, lingkungan dan iklimnya.
Hikmah Haid
Adapun hikmah yang terjadi haid pada seorang wanita, bahwa janin yang ada di
dalam rahim tidaklah mendapatkan makanan sebagaimana jika dia sudah lahir. Maka
Allah Ta’ala menjadikan pada tubuh wanita adanya saluran darah yang menjadi
jalan sari – sari makanan untuk sampai kepada janin tanpa harus dengan proses
makan dan minum. Maha suci Allah, dialah sebaik – baik pencipta.
Inilah hikmahnya, jika seorang wanita dalam keadaan hamil akan berhenti
haidnya, kecuali pada sebagian kecil wanita saja. Begitu pula wanita yang
menyesui, khususnya pada awal-awal masa menyesuinya, hanya sedikit dia antara
mereka yang mengalamai haid.
Masa haid dan rentan waktunya
Waktu atau masa haid mencakup dua pembahasan, yaitu ;
1. Usia awal seorang wanita mulai haid.
Usia awal keumuman wanita yang mengalami haid adalah sekitar 12- 15 tahun.
Terkadang wanita mengalami haid sebelum mencapai rentan usia atau melewatinya,
tergantung pada kondisinya, lingkunganya, dan iklim yang ditempati.
Para ulama berbeda pendapat tentang batas awal usia terjadi haid pada seorang
wanita serta batas akhirnya. Sehingga jika datang darah sebelum batas usia
tersebut atau sesudah melewati batas akhir haidnya dianggap sebagai darah
penyakait, bukan darah haid.
Al Imam Ad-Darimi sesudah beliau membawakan khilaf dalam perkara ini, beliau
berkata :
“semua pendapat ini menurutku salah, karena sandaran
penentuan haid kembali kepada terjadi atau tidaknya haid itu pada seorang
wanita. Sehingga pada batasan pada batasan manapun di dapati haid itu serta
pada keadaan serta usia berapapun terjadinya wajib untuk di hukumi.”
Pendapat beliau ini adalah pendapat yang benar dan merupakan pendapat yang di
pilih oleh Syaikh Islam Ibnu Tamiyah. Alasan karena Allah dan Rosul-nya
mengaitkan hukum – hukum haid dengan keberadaannya (kapanpun terjadinya).
Maka yang wajib dalam penentuan haid adalah keberadaan haid itu, yang dengan
keberadaanya itulah di kaitkan hukum – hukumya.
2. Lamanya berlangsungnya masa haid
Adapaun lama berlangsungnya masa haid , dalam perkara inipun terjadi khilaf di
kalangan para ulama hingga mencapai enam atau tujuh pendapat. Aku (Ibnul
‘Utsaimin) katakan : Pendapat ini sebagaimana pendapat Ad – Darimi
terdahulu, dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikh Islam Ibnu Tamiyah
merupakan pendapat yang benar yang didukung oleh dalil-dalil dari Al – Kitab
dan As – Sunnah serta i’tibar (Qiyas/Analogi).
Dalil pertama firman Allah Ta’ala :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا
النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ
“ dan mereka bertanya kepadamu tentang darah haid.
Katakan : Dia adalah sesuatu yang kotor, maka jauhilah wanita di saat haid. Dan
janganlah kalian dekati hingga mereka suci” (Al Baqarah : 222)
Dalil kedua :
Telah tetap di dalam Shahih Muslim2 bahwa Nabi
bersabda kepada ‘Aisyah ketika dia dalam keadaan haid juga dalam keadaan muhrim
( sedang umroh) :
“Lakukan apa saja yang di lakukan oleh orang yang
berhaji kecuali thawaf hingga engkau suci (dari haid)”.
Aisyah berkata : Ketika masuk hari nahar aku pun
bersih ( dari haid )…(Al Hadist)
Disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhari, bahwa beliau
bersabda kepada ‘Aisyah :
“ Tunggulah hingga engkau suci, setelah itu engkau
boleh menuju tan’im”.
Dalil ketiga
Bahwa batasan-batasan dan rincian tentang haid yang
disebutkan oleh sebagian ulama tidak terdapat di dalam Al Kitab dan As Sunnah,
padahal penjelasan tentang perkara tersebut adalah suatu kebutuhan bahkan
darurat. Kalau seandainya batasan-batasan dan rincian – rincian tersebut
dibutuhkan, niscaya Allah dan Rasul-Nya menjelaskan seccara jelas karena begitu
pentingnya hukum yang berkaitan dengan masalah ini.
Maka dari itu, ketika tidak di dapati adanya
pembatasan dan rincian dari kitabullah dan sunnah Rasulullah jelaslah bahawa
tidak ada pegangan yang bisa menjadikan dasar pada rincian – rincian dan
pemabatasan-pembatasan tersebut. Maka yang menjadi pegangan dalam hal penentuan
haid adalah apa yang telah di tetapkan hukum – hukum syar’i yang terkait dengan
ada atau tidaknya darah haid itu.
Syaikhlul Islam Ibnu Tamiyah berkata di dalam
Qoidahnya: “di antara contohnya adalag haid. Di dalam Al Kitab dan As Sunnah,
Allah mengaitkan dengan haid ini sekian banyak hukum. Allah tidak membatasi
masa haid: minimalnya maupun maksimalnya serta waktu suci di antara dua haid,
bersamaan kejadian ini menimpa ummat dan butuhnya mereka kepada keterangan
ini”.
Dalil ke empat
Al – I’tibar : yakni qiyas yang shahih dan memiliki
kepastian.
Allah Ta’ala menetapkan bahwa haid merupkan sesuatu
yang kotor. Maka kapan saja haid itu terjadi, berarti kotoran itu ada. Tidak
ada bedanya, apakah terjadi di hari kedua atau pertama, ketiga atau kelima
belas tidak pula antara hari kedelapan belas dengan ketujuh belas. Maka sebab
yang ada di antara dua hari tersebut dihukumi sama.
Dalil Kelima
Terjadinya perbedaan pendapat serta kebingungan yang
muncul dari orang – orang yang menetapkan batasan lamanya waktu haid. Hal itu
menunjukan bahwa dalam masalah haid ini tidak ada dalil yang menawajibkan untuk
berjalan diatasnya. Batasan tadi hanyalah hukum hasil Ijtihad yang mungkin
benar mungkin juga salah. Sedangkan suatu perkara yang diperselisihkan,
hendaklah dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah
Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah berkata : “hukum asal
unutk setiap darah yang keluar dari rahim adalah darah haid, sampai datang
dalil yang mununjukan bahwa darah tersebut adalah darah istihadhah.
Haid Wanita Hamil
Secara umum seorang wanita yang sedang hamil akan
berhenti haidnya. Al Imam Ahmad berkata : Sesungguhnya seorang wanita diketahui
kehamilannya dengan terhenti haidnya.
Jika seorang wanita yang sedang hamil mendapati darah
keluar darah rahimnya, jika terjadi beberapa saat sebelumnya kelahiran seperti
dua atau tiga dan keluarnya disertai dengan rasa sakit, maka dihukumi sebagai
darah nifas. Akan tetapi jika terjadi selain di waktu itu maka bukan darah
nifas.
Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Apakah masuk darah haid ataukah darah fasad (istihadhah).
Adapun pendapat yang benar bahwa darah tersebut adalah darah haid jika terjadi
pada masa kebiasaan haidnya.
Tidak ada keterngan dalam Al – Kitab dan As Sunnah
yang menhalangi terjadinya haid pada wanita yang sedang hamil. Inilah pendapat
Al Imam dan As –Syafi’i serta pendapat yang di pilih oleh Syaikhul Islam Ibnu
Tamiyah. Dengan demikian berlakulah hukum haid pada wanita yang sedang hamil,
kecuali dalam dua masalah :
A. Masalah Talaq.
Haram melakukan talaq kepada wanita yang memerlukan ‘iddah dengan perhintungan
haid yang tidak dalam kondisi hamil. Firman allah
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
“…sesungguhnya hendaklah kamu ceraikan mereka pada
waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).”(At Talaq : 1)
Oleh karena itu tidaklah haram bagi suami untuk
mentalaq istrinya ( yang sedang hamil tersebut) sesudah menggaulinya.
B. ‘iddah wanita yang sedang hamil.
Iddah wanita yang sedang hamil tidaklah berakhir kecuali dngan terlahirnya
janin, sama saja wanita tersebut (di talaq) sedang dalam keadaan haid atu
tidak. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :
ولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ
“dan perempuan – perempuan yang hamil, waktu iddahnya
mereka itu ialah sampai mereka melahirkanyan yang di kandungnya” (At – Talaq
:4)
( dikutip
dari buku Probelem Darah Wanita, Penulis Asy Syaikh Muhammad Utsaimin, Ash Shaf
Media)
Comments
Post a Comment